POTENSI CURCUMIN DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMORI DAN MENGHAMBAT APOPTOSIS PADA MODEL ALZHEIMER

Curcumin yang merupakan komponen aktif tumeric (Curcuma longa) biasa digunakan sebagai kari pedas (masakan). Curcumin digunakan dalam pengobatan herba pada manusia maupun hewan serta diteliti dalam bidang biomedis. Pada manusia curcumin digunakan sebagai obat herbal untuk pengobatan kondisi inflamasi, kanker, AIDS, dan penyakit lainnya. Berdasarkan laporan dari Kellon (2012), curcumin juga digunakan pada pengobatan hewan. Curcumin dilaporkan dalam terapi melanoma pada kuda. Dosis penggunaan curcumin yang aman pada kuda adalah 329-480 grams (11.6-16.9 ons). Dilaporkan 3 kuda dengan pertumbuhan dan penyebaran melanoma yang diberi 1-3 ons/hari dari tumeric menunjukkan pertumbuhan dan penyebaran melanoma terhenti. Namun sifat melanoma tidak terprediksi sehingga kasus ini tidak bisa menjadi acuan pasti pada terapi melanoma pada kuda dengan menggunakan curcumin.

Gambar 1. Curcumin (Turchiano, 2014)

Secara epidemiologi di India dimana tumeric digunakan secara rutin pada kehidupan sehari-hari, menunjukkan kejadian penyakit Alzheimer (AD) antara umur 70-79 tahun empat kali lebih rendah dibanding di Amerika. Peneliti menggunakan hewan transgenik untuk menginvestigasi efek curcumin. Hasil meunjukkan dosis rendah curcumin signifikan menurunkan inflamatori sitokin IL-1, menurunkan dampak oksidatif dan pembentukan plak, serta menurunkan amyloid. Dibandingkan dengan  obat antioksidan seperti NSAID atau ibuprofen, curcumin memiliki lebih sedikit efek samping.

Penyakit Alzheimer dikarakteristikan dengan adanya akumulasi yang progresif dari amyloid beta peptid (Aß), neurofibrillary tangles (NFTs), dan hiperfosforilasi microtubule-asosiated tau protein. Sebagian besar area yang berpengaruh pada proses learning dan memori seperti hipokampus dan korteks frontalis menunjukkan apoptosis pada neuron  yaitu beberapa tahun sebelum gejala klinis terlihat. Pada saat ini belum ada pengobatan terhadap AD dan hal ini menjadi ketertarikan para peneliti dalam bidang bimedis untuk menemukan obat yang dapat menghambat proses penyakit ini. Obat yang tersedia di pasaran saat ini adalah inhibitor terhadap asethylcholine esterase dan N-methyl D aspartate (NMDA) reseptor antagonis. Obat tersebut meningkatkan kemampuan neuron yang masih utuh namun tidak menghambat terjadinya proses degeneratif yang menyebabkan kematian sel neuronal.

Diduga metal seperti besi dan tembaga (tapi tidak zinc) pada beta amyloid terkonsentrasi pada Penyakit Alzheimer (Alzeimer disease / AD) dan curcumin dapat mengikatnya. Kemampuan curcumin mengikat metal ini mungkin dapat menjadi salah satu mekanisme yang potensial untuk mereduksi amyloid.  Secara in vivo, curcumin dapat melindungi sel dari beta amyloid dan oksidatif akibat stres melalui jalur antioksidan. Pada studi sebelumnya dibuktikan curcumin dapat mennginduksi peningkatan kognisi dengan mempengaruhi sistem kholinergik dan aktivitas antioksidan. Namun studi ini belum selesai, dan perlu diinvestigasi bagaimana mekanisme neuroprotektan curcumin ini.


Berikut adalah potensi neuroprotektif curcumin berdasarkan penelitian Rui et al. (2008) dengan judul ”Curcumin Improves Learning and Memory Ability, Its Neuroprotective Mechanism In Mice” (oleh Pan Rui, Qiu Sheng, Lu DaXiang, and Dong jun. Chin Med J, 2008;121(9):832-839)

Diduga kematian neuron terjadi secara apoptosis pada penyakit Alzheimer (AD). Disfungsi mitokondria berpengaruh pada proses kematian sel neuronal tersebut. Salah satu pengembangan terhadap usaha pencegahan AD yaitu pengembangan anti-apoptosis untuk menurunkan kematian pada sel syaraf. Pada studi ini, diobservasi peningkatan memori melalui curcumin pada mencit dan diinvestigasi efek cucumin secara in vitro dan in vivo. Metode yang digunakan yaitu dengan pemberian AlCl3 secara oral dan injeksi D-Galactose secara intraperitoneal selama 90 hari untuk mendapatkan model hewan AD. Dari hari ke 45, grup curcumin diberi perlakuan curcumin selama 45 hari. Perubahan neuropatologi pada hipokampus dan ekpresi Bax dan Bcl-2 digunakan untuk mengevalusi efek curcumin pada model hewan AD. Pada kultur sel PC12, AlCl3 digunakan untuk menginduksi apoptosis. Analisis flow cytometri digunakan untuk melihat level apoptosis sel. DNA-binding fluorochrome Hoeschst 33258 digunakan untuk mengobservasi perubahan nuclei pada sel yang apoptosis, dan western blot untuk menganalisis Bax, Bcl-2 untuk menginvestigasi mekanisme curcumin dalam memproteksi sel dari toksisitas (Rui et al., 2008).

METODE (IN VIVO dan IN VITRO)

IN VIVO

Hewan model AD
Mencit kunming betina (n=30) dengan berat antara 18-22 gram yang dipelihara di Guangdong Experimental Animal Center (sertifikat no: 0031627). Mencit dipelihara pada kandang individu dengan dengan temperatur 24±2 °C, dan kelembapan 60±10%, dengan siklus terang-gelap 12 jam. Mencit diberi makan dan minum secara ad libitum. Penggunaan hewan penelitian berdasarkan Internationally accepted ethical guidelines (Rui et al., 2008).
            
Mencit dibagi menjadi tiga kelompok secara random yaitu grup kontrol, grup model AD, grup curcumin. Seluruh mencit di beri perlakuan AlCl3 (10 mg/kg berat badan) secara per oral serta D-galactose (120mg/kg berat badan)  secara intraperitneal selama 90 hari untuk membuat kondisi model AD, kecuali pada grup kontrol. Dari hari ke 45curcumin (200 mg/kg) yang dilarutkan dalam 1% carboxymethyl celulose (CMC) diberikan secara per oral selama 45 hari. Grup kontrol maupun grup model AD juga diberikan 1% CMC dengan dosis yang sama.  Setelah 90 hari otak mencit diambil untuk diproses ke tahap histologi dan western blot (Rui et al., 2008).


Analisis Histologi
Hewan diperfusi secara intakardial dengan memasukkan larutan fiksasi ke ventrikel kiri. Kemudian otak diambil dan dimasukkan ke 4% neutral buffered paraformaldehyde selama 24 jam. Otak lalu diblok dengan parafin dan dipotong secara koronal dengan ketebalan 30μm yang kemudian diwarnai dengan Hematoxylin dan Eosin (HE) (Rui et al., 2008).


Analisis Western Blot
Otak diambil secara cepat dengan kondisi diletakkan pada es kemudian dibekukan. Protein diekstraksi dengan homogenisasi pada 7 volume buffer lisis dingin, kemudian disentrifuse pada 10.000-14.000 x g pada 4°C selama 3 menit. Protein yang didapat disimpan pada suhu -80°C sampai akan digunakan untuk dianalisis (Rui et al., 2008).
           
Tujuh puluh μg ekstraksi protein dilarutkan dalam 2x SDS loading buffer kemudian di masukkan ke 12% SDS-polyacrilamide denaturing gel. Setelah dielektroforesis 30 menit pada 80 volt dan  60 menit  pada 120 volt, gel di transfer ke membran nitrocellulose dengan electrofhoretic transfer pada 200mA selama 2 jam. Kemudian membran dicuci dengan TBS selama 30 menit dan diinkubasi dengan TBST (TBS yang mengandung 0,1% tween 20) yang ditambah dengan 5% non-fat milk selam 2 jam untuk memblok ikatan protein yang tidak spesifik. Membran dipotong berdasarkan marker dan diinkubasi dengan antibody monoclonal Bcl-2 atau Bax (masing-masing 1:200) semalan pada suhu 4 °C. Kemudian membran dicuci 3 kali dengan TBST dan diinkubasi dengan horseradish peroxidase linked secondary antibody selama 1 jam (1:2000). Lalu dicuci 3 kali dengan TBST dan ECL detection reagent (Rui et al., 2008).


IN VITRO

Kultur sel        
Kultur dilakukan pada medium DMEM dengan antibiotik penicilin G 1000 U/ml, streptomisisn 100 μmg/ml, 10% horse serum dan 10% fetal bovine serum pada 37°C didalam inkubator CO2 5%.  Konsentrasi sel yaitu 5x103/cm2. Sel PC12  (pheochromocytoma cell line)  dapat berdifferensiasi menjadi neuron simpatetik setelah diekspos dengan nerve growth factor (NFG) 50ng/ml. Pada studi ini digunakan PC12 yang telah terdiferensiasi (Rui et al., 2008).


Apoptosis pada kultur sel
Pada eksperimental, AlCl3 merupakan sumber dari Al3+ untuk menginvestasi efek pada morfologi sel  dan kelangsungan hidup sel. AlCl3 yang digunakan diencerkan 100 x dari stok awal dengan 0,9% sodium chloride dan ditambahkan pada medium pertumbuhan dengan konsentrasi 10, 100, 500, 1000 μmol/L. Kultur kontrol ditambahkan dengan 0,9% sodium chloride. Perubahan pH pada medium yang diberi perlakuan AlCl3 pada kultur media ditingkatkan menjadi 7,3±0,2 dengan NaHCO3 (Rui et al., 2008).

Curcumin untuk kultur sel dilarutkan daam dimethylsulfoxide (DMSO) dan disimpan pada ruang gelap suhu -20 °C. Curcumin dicampurkan pada medium DMEM dengan konsentrasi DMSO 0,1%, dengan level curcumin yaitu 20, 40, 80, 160 μmol/L pada sel kultur PC 12 yang telah terdiferensiasi (Rui et al., 2008).
    
Berdasarkan studi,  AlCl3 (1000μmol/L) dipilih untuk diinkubasi pada sel PC12 yang telah terdiferensiasi. Setelah 12 jam inkubasi, 20, 40, 80 μmol/L curcumin ditambahkan ke sel (Rui et al., 2008).


Pengamatan morfologi nuclear
Sel dicuci dengan PBS dingin 2 kali dan difiksasi dengan 4% formaldehyde pada suhu 4°C 10 menit. Sel yang telah terfiksasi dicuci dan dilabel dengan Hoechst 33258 (5μg/ml) pada suhu ruang dalam kondisi gelap selama 10 menit. Kemudian diamati dengan mikroskop fluorescense dengan filter 360 nm (Rui et al., 2008).

Analisis Annexin V/PI
Marker Annexin/PI dianalisis menggunakan flowcytometri untuk menganalisis apoptosis bedasarkan ikatan protein annexin v dengan phosphatidyl serin dan juga nekrosis dengan PI (Rui et al., 2008).

 Analisis Western Blot       
Setelah sel diberi perlakuan, sel dicuci dengan PBS dingin 2 kali dan dilakukan ekstraksi protein pada es selama 30 menit. Setelah disentrifuse, 30μg protein yang diekstraksi  dirunning  pada 12% SDS-polyacrilamide gel. Prosedur selanjutnya sama dengan prosedur westernblot sebelumnya. Antibodi yang digunakan  adalah monoclonal Bcl-2 atau Bax (masing-masing 1:100),  kemudian  diinkubasi dengan horseradish peroxodase linked secondary antibody (1:1000) (Rui et al., 2008).
  

HASIL DAN PEMBAHASAN
           
Secara In vivo, kombinasi pemberian AlCl3 dan  D-galactose selama  90 hari dapat menginduksi gangguan memori pada mencit yang menunjukkan patogenetik yang mirip dengan AD sehingga dapat digunakan sebagai hewan model AD. Al dapat menginduksi neuropatologi antara lain dengan oksidasi, apoptosis, dll) sehingga dapat memberikan gambaran yang mirip AD. Pemberian dosis rendah D-galactose secara kronis dapat menginduksi natural aging, memperpendek masa hidup, disfungsi kognisis, neurodegenerasi, oksidasi, penurunan sistem imun, dan perubahan transkripsi gene. Penggunaan D-galactose sudah unum untuk percobaan aging dan screening obat. Diduga pemberian curcumin secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan learning (Rui et al., 2008).

Melalui pewarnaan HE  terlihat karakteristik perubahan neuropatologi di hipokampus pada model hewan AD. Pada grup kontrol neuron terlihat utuh, rapat, dan nucleus jelas terwarnai. Bila dibandingkan dengan hewan model, sitoplasma mengkerut, nukleus permindah posisi, terwarna gelap, terdapat neurofibrillary degenerasi, dan kehilangan neuron di hipokampus. Dengan adanya pemberian curcumin, secara signifikan menurunkan perubahan nuropatologi. Neuron terlihat lebih baik dari segi bentuk dan  intinya didbanding hewan model AD (Rui et al., 2008).

Gambar 2.  Perubahan neuropatologi pada hipokampus dari model hewan yang diinduksi AlCl3 dan  D-galactose dengan pewarnaan HE. A: grup         kontrol. B: grup model AD. C: grup curcumin (Rui et al., 2008).


Perubahan level Bcl-2 dan bax dimitokondria digunakan untuk menentukan apoptosis. Antibodi Bcl-2/Bax diindentifikasi dengan pita protein dengan berat molekul 27/21 kD. Pemberian AlCl3 dan  D-galactose menyebabkan down-regulasi Bcl-2. Namun  tidak menunjukkan hasil yang signifikan pada Bax. Curcumin memiliki potensi anti-apoptosis dengan up-regulasi level Bcl-2 (Rui et al., 2008).

Gambar 3. Analisis Bax dengan western blot dari jaringan otak. Line 1: grup kontrol. Line 2: grup model AD. Line3: grup curcumin (Rui et al., 2008).

Gambar 4. Analisis Bcl-2 dengan western blot dari jaringan otak. Line 1:    grup kontrol. Line 2: grup model AD. Line3: grup curcumin (Rui et al., 2008).

Secara in vitro, Sel PC12 yang diekspos dengan 10, 100, 500, 1000 μmol/L AlCl3 pada medium pertumbuhan selama 3 hari. Pada jam ke 48, sel yang diberi perlakuan AlCl3 menunjukkan agregat abnormal, badan sel mengkerut, degenerasi pada prosesus dibandingkan sel yang tidak diberi perlakuan. Kemampuan sel juga menurun pada sel yang diberi AlCl3. Ketika dosis yang digunakan 1000 μmol/L AlCl3, viabilitas sel menurun sekitar 62±2 % dari kontrol (Rui et al., 2008).
           
Terjadinya apoptosis dapat dikonfirmasi dengan melihat morfologi nukleus pada sel yang diberi perlakuan.  Inti sel yang diberi AlCl3 terlihat mengkerut dengan bentuk yang ireguler dan degradasi, adanya agregat dan fragmentasi  kromatin.  Pada grup kontrol, kebanyakan nukleus memiliki bentuk yang regular, bulat dan berukuran besar. Pemberian curcumin (20 dan 40 μmol/L) dan AlCl3 co-treated menunjukkan kondensasi DNA tapi tidak fragmentasi DNA. Pemberian 80 μmol/L curcumin menunjukkan bentuk yang irreguler dan fragmentasi DNA (Rui et al., 2008).



Gambar 5. Gambaran fluorescence pada sel yang telah diekpos dengan AlCl3 setelah 72 jam, dengan maupun tanpa curcumin. A: sel kontrol, B: sel yang diberi perlakuan AlCl3, C,D,E: sel yang diberi AlCl3 dan curcumin (20, 40, dan 80 ) μmol/L (Rui et al., 2008).

Dengan marker propidium  iodide (PI) dan annesin v-FITC melalui metode flowcytometri, dapat diketahui tahapan apoptosis (early, late, dead cell). Annesin  FITC- PI- menunjukkan sel masih utuh,  Annesin FITC+ PI- dalam tahap early apoptosis, Annesin FITC + PI+ dalam tahan late apoptosis/nekrosis. AlCl3 secara signifikan meningkatkan jumlah apoptosis dibanding grup kontrol. Sel yang diinkubasi dengan AlCl3 dan curcumin (20 dan 40 μmol/L) secara bersamaan menunjukkan jumlah apoptosis yang lebih rendah dibanding model grup. Pemberian curcumin 80μmol/L tidak menunjukkan hasil yang protektif terhadap intoksikasi AlCl3. Permberian curcumin dapat menghambat aktivitas AlCl3 dalam menginduksi apoptosis (Rui et al., 2008).


Gambar 6. Analisa flow cytometric pada sel apoptosis dan necrosis. A: sel kontrol, B: sel yang diberi perlakuan AlCl3 (1 mmol/L),  C, D, E: sel yang diberi perlakuan AlCl3 dan curcumin (20, 40, dan 80 μmol/L) (Rui et al., 2008).


Dengan analisa western blot, level anti apoptosis Bcl-2 menurun pada model AlCl3 dibanding kontrol. Sel yang diinkubasi dengan curcumin (20 dan 40 μmol/L) secara bersamaan AlCl3 menunjukkan level Bcl-2 yang lebih tinggi dibanding model AlCl3. Namun tidak terlihat hasil yang signifikan terhadap Bax (Rui et al., 2008).

Gambar 7. Analisis Bax dan Bcl-2 dengan western blotsel PC12. Line 1: grup kontrol. Line 2: grup model AD. Line3-5: grup curcumin (20, 40, 80 μmol/L) (Rui et al., 2008).



KESIMPULAN

Hasil menunjukkan curcumin menurunkan perubahan neuropatologi dan menghambat apoptosis dengan mengingkatkan level Bcl-2, namun tidak terjadi perubahan pada level Bax. AlCl3 secara signifikan menurunkan kelangsungan hidup atau avibilitas sel PC12. Curcumin meningkatkan kelangsungan hidup sel PC12 pada kondisi adanya induksi AlCl3. Level apotosis meurun pada grup curcumin dari analisis melalui flow cytometri. Disimpulkan curcumin dapat meningkatkan kemampuan memori pada mencit AD dan menghambat apoptosis pada kultur sel PC12 yang diinduksi AlCl3. Mekanismenya yaitu dengan meningkatkan Bcl-2. Berdasarkan hasil studi ini, dapat disimpulkan bahwa curcumin berpotensi sebagai obat anti-apoptosis untuk pencegahan penyakit Alzheimer (Rui et al., 2008).


DAFTAR PUSTAKA

Rui, P., Sheng, Q., DaXiang, L., dan Jun, D., 2008. Curcumin Improves Learning and Memory Ability, Its Neuroprotective Mechanism In Mice. Chin Med J, 121(9):832-839)

Turchiano, R., 2014. New Research Adds Spice to Curcumin’s Health-Promoting Benefits. http://clinicalnews.org/2014/11/06/new-research-adds-spice-to-curcumins-health-promoting-benefits/

Kellon, E., 2012. The case for curcumin. Integrative veterinary care journal. Http://ivcjournal.com/the-case-for-curcumin/


Postingan populer dari blog ini

Metabolisme Zinc Pada Manusia Dan Hewan (Anjing & Kucing)

Ultrasonography (Usg) dan Aplikasinya Pada Pemeriksaan Organ Reproduksi Serta Diagnosa Kebuntingan & Foetal Sexing Pada Ternak

PROSEDUR HISTOLOGI: PEMBUATAN BLOK PARAFFIN DAN PEMOTONGAN