MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANINE

Pendahuluan

Babesiosis canine merupakan penyakit yang disebabkan oleh Babesia canine (subfilum: apicomplexa, order: piroplasmida, genus: babesia, spesies Babesia canine). Penyakit ini diperantai oleh caplak (tick-borne) yaitu caplak-anjing coklat Rhipicephalus sanguineus sebagai vektor utama (Shaw et al., 2001). Caplak ini dijumpai pada hospes famili canidae, baik liar maupun yang telah terdomestifikasi. Gejala klinis babesiosis yaitu demam, depresi, dan anemia (Kuttler, 1988).


Siklus hidup Babesia canine

Gambar 1. Siklus Hidup Babesia canine

Siklus hidup Babesia canine pada hospes anjing dimulai saat caplak yang mengandung babesia menghisap darah anjing. Dari saliva caplak ditularkan sporozoid yang masuk ke peredaran darah hospes dan menginfeksi eritrosit. Di dalam eritrosit, sporozoid berkembang menjadi tropozoid, kemudian menginfeksi eritrosit lain dan menjadi merozoid serta pre-gametosit. Apabila ada caplak yang menghisap darah anjing yang telah terinfeksi babesia, stadium pre-gametosit dapat masuk ke dalam tubuh caplak dan berada di epitel usus caplak. Pada usus caplak ini terjadi gametogoni (diferensiasi gamet dan pembentukan zigot). Kemudian menjadi kinate yang yang dapat ditransmisi secara trans-stadial maupun trans-ovarial. Pembentukan stadium infektif babesia ini terjadi di glandula saliva caplak sebagai sporozoid (Cahuvin et al., 2009).

Manifestasi klinis akibat infeksi Babesia
Infeksi babesia pada anjing menunjukan gejala klinis seperti deman, anemia dan depresi. Adanya infeksi babesia di peredaran darah khususnya pada eritrosit akan memacu respon imun dari hospes seperti peningkatan sitokin yang menimbulkan demam. Selain itu, sitokin yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan sel dan eritrosit menjadi pecah. Perkembangan protozoa ini di eritrosit juga menyebabkan eitrosit menjadi pecah sehingga terjadi anemia.


Grafik dari hubungan antara infeksi babesia (dengan dosis 102, 104, 106) pada anjing dengan gambaran parasitemia, kenaikan temperature tubuh, PCV, WBC, dan platelet dibandingkan dengan kontrol (tanpa infeksi babesia). Infeksi babesia menunjukkan gambaran parasitemia yang tinggi yang menandakan keberadaan parasit di dalam darah (A). Adanya infeksi babesia menyebabkan terjadinya peningkatan suhu tubuh (B), terjadi penurunan PCV (C), WBC (D), dan platelet (D) (Schetters et al., 2009).

Mekanisme Respon Imun Hospes terhadap Babesia
Babesia merupakan parasit intraeritrosit, masuknya babesia melalui gigitan caplak ke tubuh anjing memicu respon imun pada hospes (anjing). Infeksi babesia di intraeritrosit di peredaran darah menimbulkan respon imun yang sifatnya sistemik.
           
Saat caplak yang menghisap darah, molekul saliva dan babesia (sporozoid) akan masuk ke peredaran darah. Saliva maupun babesia tersebut akan memicu antigen presenting cell (APC) yaitu sel makrofag untuk menangkap dan memproses antigen asing dan disampaikan ke sel limfosit T. sel Th2 akan mengeluarkan sitokin untuk mengaktifkan sel-sel lain, termasuk sel B untuk menghasilkan antibodi terhadap babesia (gambar 2) (Shaw et al., 2001).

Gambar 2. Respon imun terhadap Babesia.

Selain sebagai APC, makrofag juga menghasilkan NO yang sifatnya toksik sehingga dapat menyebabkan kematian pada sel. NO disekresikan akibat aktivasi makrofag oleh IFN-γ. Interferon dapat dihasilkan oleh sen NK yang teraktivasi oleh sitokin sepert IL-12 dan IL-8. Mekanisme ini terjadi pada kejadian akut yang lebih memacu aktivitas respon imun bawaan. Sedangkan pada kejadian kronis, terdapat aktivitas T-reg yang mengahsilkan IL-10 dan IL-4 yang mendepres aktivitas makrofag. Namun adanya stimulus dari IFN-γ dapat memicu terbentuknya IgG2 dari respon Th1. Selain itu Th2 akan menghasilkan IL4 yang dapat memacu IgG1untuk melawan infeksi babesia di dalam eritrosit (gambar 3). IgG memiliki peranan melawan infeksi babesia melalui antibody-dependent celluler cytotoxin (ADCC) misalnya bersama NK  (Chauvun et al., 2009).


Gambar 3. Gambaran respon imun saat kejadian akut maupun kronis (Chauvun et al., 2009).

           
Sitokin yang dihasilkan seperti TNF, IL-1, IL-6, dan IFN-γ untuk melawan infeksi babesia yang bersifat sistemik menimbulkan efek sebagai pirogen yang akan memicu peningkatan suhu tubuh (demam) dengan tujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang tidak sesuai bagi perkembangan mikroorganisme sehingga dapat membantu efektifitas kerja respon imun seluler dalam mengeleminasi babesia.


Gambar 4. Peranan sitokin dalam menimbulkan demam (Janeway, 2005).
           
Sitokin yang dihasilkan akibat infeksi yang sitemik selain berperan dalam manisfestasi demam, pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan mitokondria. Kerusakan pada mitolondria akan menyebabkan jaringan mengalami anoreksia. Selain itu semakin banyak infeksi babesia pada eritrosit dapat menyebabkan peningkatan ekpresi molekul adhesi yang memicu penempelan eritrosit di pembuluh darah dan dapat menyebabkan obstruksi yang menimbulkan gejala klinis seperti anemia, peningkatan tekanan darah, kerusakan organ vital, hewan menjadi depresi, dan menyebabkan kematian (Krause et al., 2007).



Gambar 5. Pengaruh sitokin terhadap kerusakan mitokondria dan gejala klinis yang terlihat akibat infeksi babesia (Krause et al., 2007).

Strategi Babesia Menghindar dari Respon Imun Hospes
Babesia dalam menghadapi respon imun hospes juga mengembangkan strategi agar dapat terhindar dari respon imun sehingga terjadi infeksi yang persisten. Dalam mengahdapi sistem imun, bebasia memiliki antigen yang berperan agar ia terhindar dari sistem imun yaitu antigen variation and cytoadherence (VESA) dan antigenic polymorphism (Chauvun et al., 2009).
           
VESA merupakan antigen yang multigenik dari babesia yang akan diekpresikan pada permukaan eritrosit. Antigen ini menyebabkan penempelan eritrosit pada pembuluh darah. Meski di ekpresikan pada permukaan eritrosit, namun karena sifat antigen ini cepat berubah (variatif) sehingga dapat lolos dari sistem imun hospes (Chauvun et al., 2009).

Antigen polymorfic merupakan antigen yang babesia yang berperan dalam inisiasi penempelan babesia pada permukaan eritrosit. Antigen ini juga bersifat multigenik sehingga terjadi polimorfik antigen di permukaan sel yang menyebabkan parasit dapat lolos dari sistem imun hospes (Chauvun et al., 2009).

Daftar pustaka
Cahuvin, A., Moreau, E., Bonnet, S., Plantard, O., dan Malandrin, L., 2009.Babesia and its hosts: adaptation to long-lasting interactions as a way to achieve efficient. Vet. Res. 40:37.

Krause, P.J., Daily, J., Telford, S.R., Vannier, E., Lantos, P., dan Spielman, A.,2007. Shared features in the pathobiology of babesiosis and malaria. Trends in Parasitology 23(12): 605-610.

Kuttler, K.L., 1988. Worldwide impact of babesiosis. In: Ristic, M. (Ed.), Babesiosis of Domestic Animals and Man. CRC Press, Boca Raton, pp. 1–     22.

Shaw, S.E., Day, M.J., Birtles, R.J., dan Breitshwerdt, E.B., 2001. Tick-borne infectious diseases of dogs. Trends in Parasitilogy. 17(2): 74-80.

Schetters, Th.P.M., Kleuskens, J.A.G.M.., Crommert a, J. Van De., Leeuw, P.W.J. De., Finizio, A-L.., dan Gorenflot, A., 2009. Systemic inflammatory responses in dogs experimentally infected with Babesia canis; a haematological study. Veterinary Parasitology 162: 7–15.

Postingan populer dari blog ini

Metabolisme Zinc Pada Manusia Dan Hewan (Anjing & Kucing)

PROSEDUR HISTOLOGI: PEMBUATAN BLOK PARAFFIN DAN PEMOTONGAN

Ultrasonography (Usg) dan Aplikasinya Pada Pemeriksaan Organ Reproduksi Serta Diagnosa Kebuntingan & Foetal Sexing Pada Ternak