TOKSISITAS PARACETAMOL (ACETAMINOPHEN) DAN TREATMENT: PADA KUCING DAN ANJING


Paracetamol (acetaminophen) merupakan obat yang sering digunakan pada manusia sebagai analgesic dan antipyretic, namun obat ini bersifat toksik pada kucing (tanpa adanya dosis aman) serta pada anjing (bila overdosis). Pada artikel ini dibahas mengenai paracetamol dan metabolismenya, mekanisme toksisitas paracetamol, diagnose (anamnesa, gejala klinis, perubahan patologi klinis dan anatomi), serta treatment.


PARACETAMOL

Paracetamol atau acetaminophen merupakan derivate sintetik nonopiate dari p-aminophenol (Steenbergen, 2003). Paracetamol merupakan nonsteroidal anti inflamasi yang sering digunakan sebagai analgesic (obat penghilang rasa sakit) dan antipyretic (obat anti demam, untuk menurunkan suhu tubuh) dengan efek anti inflamasi yang lemah. Obat ini dapat meningkatkan ambang batas rasa sakit (Richardson, 2000) dengan cara menghambat aktivitas enzim cyclooxygenase (Botting, 2000) serta menghambat efek pyrogen dengan cara memblok sintesis prostaglandin (Aronoff et al., 2006).

Paracetamol bersifat larut dalam air (Rossoff, 1994) dan diabsorbsi secara cepat pada tractus gastrointestinal (Steenbergen, 2003). Puncak konsentrasi keberadaan obat di dalam plasma dapat dilihat 1 jam setelah pemberian. Ikatan paracetamol dengan protein plasma tidak begitu kuat atau lemah yaitu sekitar 5 – 20 % sehingga obat mudah terdistribusi luas ke seluruh tubuh (Khan, 2014). Hal ini berbeda dengan obat yang memiliki ikatan kuat terhadap protein plasma dimana ikatan protein yang kuat tersebut dapat bersifat sebagai reservoir sehingga menyebabkan penurunan distribusi serta keterbatasan transport molekul membran capillary (Jerzsele, 2012).

Sebagian besar paracetamol dimetabolisme di liver dan beberapa dimetabolisme di ginjal (Steenbergen, 2003).  Metabolism paracetamol melalui 2 fase yaitu fase I dimana obat mengalami oksidasi oleh cytochrome P450 (CYP450) dan biasanya menghasilkan metabolit yang bersifat toksik. Metabolit ini kemudian dikonjugasi pada fase II (Jerzsele, 2012) dimana pada fase ini metabolit tersebut mengalami penurunan toksisiti sehingga menjadi lebih aman. Metabolit selanjutnya dieliminasi dan dieksresikan melalui empedu (Steenbergen, 2003).

Pada kebanyakan spesies hewan, metabolisme paracetamol pada fase II mengalami konjugasi secara glucuronidation dan sebagian kecil secara sulfation (Rossoff, 1994; Jerzsele, 2012). Glucuronidation adalah proses panambahan glucuronic acid pada substrat yang dimediasi oleh enzim glucuronyl transferase (Jancova et al., 2010). Pada kucing terjadi kekurangan enzim glucuronyl transferase dan menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk proses metabolism dengan jalur glucuronidation (Khan, 2012) sehingga pada kucing paracetamol dimetabolisme secara sulfation (Rossoff, 1994). Namun kapasitas jalur sulfation pada kucing juga rendah dibandingkan dengan hewan lain (Arondon dan Drobatz, 2000).

Saat kemampuan jalur sulfation mencapai batasnya, paracetamol akan terus berada di dalam darah sehingga ia lebih banyak dimetabolisme oleh cytochrome P450 (CYP450) kemudian menjadi metabolit yang dikenal sebagai N-acetyl-para-benzoquinoneimine (NAPQI) yang bersifat reaktif dan toxic (Allen, 2003). NAPQI secara normal didetoksifikasi melalui konjugasi glutation (antioxidant) namun pemberian paracetamol (overdosis) dapat menyebabkan penurunan level glutation sehingga kurangnya level antioxidant dan terjadi kerusakan seluler (Nash et al., 1984; Court, 2013).


Gambar 1. Skema metabolism paracetamol hewan (kecuali kucing). Sebagian besar dari metabolit paracetamol akan dikonjugasi secara glucuronidation dan sebagian kecil secara sulfation. Proses konjugasi menyebabkan metabolit menjadi lebih aman dan mampu dieliminasi. Metabolit yang terbentuk dari reaksi enzim CYP450 seperti NAPQI hanya dalam jumlah yang sedikit dan dapat didetoksifikasi oleh konjugasi glutation sebagai antioxidant alami sehingga mampu dieliminasi.



TOKSISITAS PARACETAMOL PADA KUCING DAN ANJING

Kucing lebih sensistive dibanding anjing terhadap toksisitas paracetamol. Toksisitas paracetamol pada kucing disebabkan kucing kekurangan enzim glucuronyl transferase yang menyebabkan penurunan kemampuan glucuronidation sehingga paracetamol lebih dimetabolisme dengan jalur cytochrome P450 (Allen, 2003; Khan, 2014) dan menyebabkan terjadi akumulasi NAPQI (Jerzsele, 2012).

NAPQI yang tidak dapat didetoksifikasi akibat level glutation yang ikut menurun (setelah pemberian paracetamol) (Court, 2013) membentuk protein yang bersifat toksik dan berperan sebagai radikal bebas (Christ dan Brückner, 2012). NAPQI akan merusak hemoglobin, eritrosit, sel-sel ginjal dan sel-se liver (hepatocyte) (Christ dan Brückner, 2012; Khan, 2014). NAPQI akan mengikat protein dan membrane sehingga mengganggu fungsi protein dan merusak lapisan lipid membrane sel. Hal ini menyebabkan kelukaan dan kematian sel terutama hepatocyte (Richardson, 2000). 


Gambar 2. Skema metabolism paracetamol pada kucing (atau anjing yang mengalami overdosis). Pada kucing, paracetamol tidak dapat dikonjugasi secara glucuronidation karena kurangnya level enzim glucuronyl transferase sehingga metabolit akan dikonjugasi secara sulfation. Namun pada kucing kemampuan sulfation juga terbatas sehingga sebagian besat dimetabolisme oleh enzim CYP 450.  Metabolit yang terbentuk dari reaksi enzim CYP450 seperti NAPQI akan terakumulasi. Paracetamol juga dapat menurunkan level glutation sehingga proses detoxification terhambat. Akumulasi NAPQI yang bersifat toxic / radikal bebas akan merusak seluler sehingga menyebabkan kematian sel.



NAPQI juga menyebabkan oxidative stress pada eritrosit. Bagian dari eritrosit yang sangat terpengaruh oleh reaksi oksidatif yaitu pada bagian ion besi dari heme (hemoglobin) dan grup sulfhydryl pada rantai globulin (Allen, 2003). Kelukaan oksidatif pada eritrosit akibat toksisiti paracetamol ini menyebabkan terbentuknya methemoglobin, anemia Heinz body serta hemolysis (Engelking, 2010; Salem et al., 2010).

Tidak ada dosis yang aman pada pemberian paracetamol pada kucing (Steenbergen, 2003). Dosis 10 mg/kg pada kucing sudah memperlihatkan gejala toksisiti (Osweiler, 1997) sedangkan pada dosis lebih dari 30-40 mg/kg dapat menyebabkan peningkatan methemoglobin (Cote, 2014). Pada anjing dosis 10 mg/kg BID digunakan dosis theraupeutic untuk analgesia (Fisher, 1997; Perry, 1998). Gejala toksisiti pada anjing baru terlihat bila dosis 75-100 mg/kg dan diduga mampu menyebabkan hepatotoxicity (Fisher, 1997; Cote, 2014) sedangkan pada dosis 200 mg/kg dapat menyebabkan methemoglobinemia (Fisher, 1997). Gejala toksisiti dapat terlihat dengan sekali pemberian dosis maupun akibat pemberian dosis yang lebih rendah secara berulang-ulang (Richardson, 2000; Khan, 2014).


DIAGNOSA
Diagnosa dapat dilakukan berdasarkan data yang didapat dari anamnesa, gejala klinis, serta perubahan patologi baik patologi klinis maupun anatomi.

Anamnesa
Riwayat obat yang dimakan atau kemungkinan termakan, seperti sengaja diberi paracetamol oleh pemilik atau kemungkinan termakan sediaan paracetamol dengan sediaan dosis manusia akibat kelalaian pemilik.

Gejala Klinis
Terdapat beberapa gejala klinis yang dapat diamati akibat toksisitas paracetamol pada kucing dan anjing sebagai berikut:

Hewan menjadi lemah, depresi, lethargy, salivasi, hypothermia (Salem et al., 2010; Siroka dan Svobodova, 2013; Corrie, 2014; Cote, 2014). Suhu tubuh hewan dapat menjadi hypothermia namun ini bukanlah hal yang mutlak tergantung pada tingkat keparahan kondisi hewan dan jangka waktu hewan mengalami toksisitas. Sehingga suhu tubuh kucing atau anjing yang terpapar paracetamol bisa saja normal, subnormal, sedikit meningkat ataupun menurun.  

Membran mukosa menjadi pucat, cyanotic atau berwarna gelap (Salem et al., 2010; Siroka dan Svobodova, 2013; Corrie, 2014; Cote, 2014). Membran mukosa yang memucat terjadi akibat anemia. Anemia terjadi karena kerusakan eritrosit yang diinduksi oleh metabolit NAPQI. NAPQI menyebabkan terjadinya methemoglobin sehingga terjadi kekurangn oksigen dan menyebabkan membrane mengalami cyanotic. Methemoglobin juga merubah warna darah menjadi kecoklatan sehingga menyebabkan membrane mukosa menjadi lebih gelap (Cotter, 2001).

Dyspnea (sulit bernafas), tachypnea, tachycardia (Salem et al., 2010; Siroka dan Svobodova, 2013; Corrie, 2014; Cote, 2014). Kekurangan oksigen akibat terbentuknya methemoglobin serta terjadinya hemolytic anemia menyebabkan hewan sulit bernafas sehingga terjadi peningkatan respirasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen (tachypnea) serta peningkatan fungsi jantung untuk memompa darah guna memenuhi kebutuhan oksigen (tachycardia). Hal ini dapat dilihat dari pada pemeriksaan fisik berupa peningkatan respirasi serta pulsus (pulse rate). Hal ini juga bukan mutlak terjadi tergantung pada tingkat keparahan kondisi hewan dan jangka waktu hewan mengalami toksisitas sehingga hewan bisa saja mengalami penurunan detak jantung.

Palpasi abdomen anterior mengalami rasa sakit yang berhubungan dengan hepatomegaly serta adanya icterus (Salem et al., 2010; Siroka dan Svobodova, 2013).  Hapatomegaly dapat terjadi akibat adanya gangguan pada liver. Adanya oksidatif oleh NAPQI pada hepatocyte menyebabkan gangguan fungsi hepar serta kerusakan hepatocyte (Richardson, 2000). Hepar berperan dalam metabolime tubuh seperti mengatur konjugasi bilirubin agar bisa diekresikan melalui empedu (Center, 2015). Kerusakan eritrosit oleh oksidatif NAPQI menyebabkan terjadinya hemolysis (Salem et al., 2010) sehingga terjadi peningkatan biliribun (produk dari pemecahan hemoglobin). Peningkatan bilirubin serta berkurangnya fungsi liver menyebabkan jumlah bilirubin meningkat di darah sehingga terjadinya ichterus (Center, 2015).

Anorexia, nausea, muntah (Salem et al., 2010; Corrie, 2014; Siroka dan Svobodova, 2013). Hilangnya nafsu makan (anorexia), mual (nusea) serta muntah merupakan gejala klinis yang dapat terjadi bila hewan mengalami ketidaknyamanan atau rasa sakit pada daerah abdominal seperti gangguan liver serta hepatomegaly. Hal ini juga menjadi factor penyebab penurunan berat badan pada hewan yang sakit.

Edema pada wajah dan telapak kaki (Corrie, 2014; Cote, 2014). Edema terjadi pada daerah subcutan wajah hingga ke conjungtiva serta pada telapak kaki. Edema terjadi bila adanya akumulasi cairan yang berlebihan di dalam jaringan yng terdistribusi di ruang interstitial (Scallan et al., 2010). Edema pada kasus toksisitas paracetamol diduga sebagai efek lanjutan dari gangguan cardiac secara akut akibat terjadinya hypoxia (Corrie, 2014; Cote, 2014). Gangguan kerja liver, jantung dan pulmo dapat meningkatkan permeabilitas vascular (Cho dan Atwood, 2002; Weis, 2008). Terjadinya peningkatan permeabilitas capillary akan meningkatkan tekanan oncotic interstitial dan menurunkan tekanan oncotic plasma (pada kasus liver failure) serta menurunkan tekanan hydrostatic capillary dan meningkatkan tekanan hydrostatic interstitial (heart failure, renal failure) (Cho dan Atwood, 2002) sehingga cairan mengalami filtrasi (keluar dari capillary) dan berpindah ke ruang interstitial. Peningkatan volume dan akumulasi cairan di interstitial menyebabkan terjadinya edema interstitial (Scallan et al., 2010).  

Gambar 3. Gambaran mekanisme edema. Terdapat factor-factor yang mempengaruhi pembentukan edema termasuk tekanan hydrostatic interstitial dan vascular serta tekanan oncotic interstitial dan plasma. Peningkatan permeabilitas capillary berperan penting dalam pergerakan osmotic secara aktif antara ruang intravascular dan interstitial sehingga mempengaruhi akumulasi cairan di interstitial (Cho dan Atwood, 2002).


Coma dan kematian (bila terlambat diketahui dan diobati) (Cote, 2014)

Perubahan Patologi:
Perubahan Patologi Klinis dari pemeriksaan darah seperti:
  • Erythrogram seperti: penurunanan PVC % dan jumlah eritrosit (RBC), peningkatan konsentrasi Hb dan MCHC yang menandakan terjadinya hemolytic anemia (Salem et al., 2010)

  • Leukogram seperti leukocytosis, neutrophilia, lymphopenia, monocytosis. Namun paparan paracetomol pada dosis tinggi pada waktu yang lama pada anjing dapat menyebabkan leukopenia yang berhubungan dengan terjadinya perubahan pada bone marrow (hypocellularity) sebagai akibat penurunan produksi erythropoietin dari gangguan fungsi renal (Salem et al., 2010) dimana renal merupakan jaringan yang terdampak langsung akibat kelukaan oksidatif oleh toksisitas metabolit paracetamol NAPQI.

  • Methemoglobinemia, lebih sering pada kucing dibandingkan anjing. Anjing akan mengalami methemogolinemia bila mengingesti paracetamol dalam dosis yang tinggi atau overdosis (Corrie, 2014). Level methemoglobin meningkatakan sekitar 2-4 jam selanjutnya diikuti terbentuknya Heinz bodi pada kucing (Richardson, 2000). Methemoglobinemia terjadi akibat adanya kelukaan oksidatif pada ion besi dari hemoglobin eritrosit menyebabkan perubahan ferrous iron (Fe2+) menjadi ferric iron (Fe3+). Ferrous iron hemoglobin (Hb Fe2+) yang teroksidatif akan berubah menjadi methemoglobin (metHb-Fe3+). Ferrous iron hemoglobin memiliki kemampuan untuk mengangkut oksigen secara reversible (HbFe2+ + O2 <-> HbFe2+ -O2), sedangkan methemoglobin tidak bisa mengangkut oksigen (Engelking, 2010). Kondisi methemoglobinemia ini menyebabkan terjadinya hypoxia, dyspneic (sulit bernafas), warna darah menjadi lebih kecoklatan, membrane mukosa menjadi cyanotic, serta disfungsi jantung dan pulmo (Cotter, 2001). 


Gambar 4. Perbandingan darah kucing normal dan yang mengalami toksisitas paracetamol.Test tube darah normal kucing (A) dan yang mengalami toksisitas paracetamol (B) (darah berwarna coklat karena adanya methemoglobin) (gambar oleh Hébert)


  • Preparat apus darah: Heinz bodies adalah hasil presipitasi hemoglobin yang teroksidasi (Rebar, 2001). Kelukaaan oksidatif pada eritrosit menyebabkan pembentukkan Heinz bodies (struktur yang terbentuk dari perubahan atau distorsi membrane eritrosit). Heinz bodies terbentuk akibat oksidasi grup sulfhydryl (SH) dari hemoglobin serta presipitasi globin. Struktur ini terbentuk 24 jam setelah terpapar toksin. Kelukaaan oksidatif pada membran eritrosit ini bersifat irreversible (Cotter, 2001; Engelking, 2010). Pada kucing kemampuan untuk mengeliminasi Heinz bodies dari eritrosit oleh limpa (lien) adalah rendah sehingga terlihat gambaran inclusi pada darah kucing terutama pada kasus anemia Heinz bodies yang disebabkan oleh toksisitas paracetamol (Engelking, 2010). Heinz body dapat memperpendek survive eritrosit (Christopher et al., 1990) serta hemolysis (Cotter, 2001; Salem et al., 2010). Heinz bodies dapat dilihat melalui pewarnaan apus darah (peripheral blood smear) dengan pengecatan wright-giemsa atau pengecatan new methylene blue.



Gambar 5. Gambaran heinz body pada kucing akibat toksisitas paracetamol. Heinz bodies dapat dilihat melalui pewarnaan apus darah (peripheral blood smear) dengan pengecatan wright-giemsa berupa inclusi tunggal berbentuk bulat dan berwarna pink dan colorless pada sisi tepi (outside) membrane eritrosit (A) serta dapat dilihat dengan pewarnaan New Methylene Blue akan berwarna biru yang lebih pekat pada sisi tepi membrane eritrosit (B)(eClinpath, 2013).


  • Preparat apus darah: Eccentrocytes, umum ditemukan pada kondisi anemia hemolytic Heinz body. Eccentrocytes adalah eritrosit dengan bagian central yang memucat dimana hemoglobin terkonsentrasi pada satu kutup sel sedangkan pada kutup yang lain terlihat sebagai sitoplasma yang tidak terwarna, dan bila membrane eritrosit mengalami oksidasi terjadi fusi pada membrane pada sisi yang berlawanan sehingga mendorong hemoglobin ke peripheral (Rebar, 2001).


 Gambar 6. Gambaran terjadinya eccentrocytes pada eritrosit (red blood cell / RBC) (Rebar, 2001).



Gambar 7. Gambaran eccentrocytes anemia akibat toksisitas paracetamol (Sharkey, 2015)



 Pemeriksaan Urine: urine berwarna gelap akibat methemoglubinuria (Allen, 2013)

Gambar 8. Gambaran darah kucing yang mengalami toksisitas paracetamol. Syringe berisi urine berwarna coklat (methemoglobinuria) (Allen, 2013).



Pemeriksaan Serum. Berdasarkan Salem et al. (2010) pada anjing yang mengalami toksisitas paracetamol akan menunjukkan:
  • peningkatan enzim hepatic seperti ALT, ALP, dan GGT akibat adanya kerusakan sel-sel liver
  • peningkatan konsentrasi bilirubin akibat terjadi peningkatan kerusakan eritrosit
  • peningkatan BUN dan creatinine akibat adanya kerusakan sel-sel ginjal (renal) 


Pemeriksaan Ultrasonograhic (USG): Pemeriksaan USG dilakukan untuk mengetahui perubahan pada daerah liver, lien dan ginjal yang diduga mengalami toksisitas paracetamol, terutama bila terjadi indiksi rasa sakit saat palpasi di daerah abdominal - liver. Hasil dari intensitas gelombang yang dipantulkan oleh USG memberi visualisai berupa warna putih (echoic) dan warna hitam (anechoic). Pada kondisi normal, hasil USG pada liver menunjukkan: parenchyma liver bersifat homogenous hypoechoic (abu-abu hitam) dan dinding vena portal bersifat echogenic (putih). Pada kasus toksisitas paracetomol terjadi peningkatan echogenicity parenchyma liver (menjadi lebih terang) dan penurunan atau hilangnya echogenic dinding vena portal (menjadi lebih gelap). Peningkatan echogenicity pada parenchyma liver menandakan adanya kerusakan hepar dimana sel-sel digantikan oleh jaringan ikat (fibrous connective tissue) (Salem et al., 2010).


Gambar 9. Hasil USG pada daerah abdominal anjing normal (A) dan toksisitas paracetamol pada anjing (B). Dibandingkan dengan kondisi normal, pada kondisi toksisitas paracetamol terjadi peningkatan echogenicity pada parenchyma liver (L) yang menandakan adanya kerusakan hepar dimana sel-sel digantikan oleh jaringan ikat (fibrous connective tissue).  Batas pengamatan: empedu (GB, gall bladder) (anechoic; hitam) dan diafragma (D) (hyperechoic; putih) (Salem et al., 2010).


Pemeriksaan HistopatologiPemeriksaan histopatologi bisa dilakukan untuk mendapatkan data lebih lengkap untuk mengetahui pathogenesis penyakit dan penegakan diagnose pada hewan yang telah mati. Perubahan histopatologi pada anjing yang mengalami toksisitas paracetamol berdasarkan Salem et al. (2010) yaitu:


Gambar 10. Perbandingan gambaran histologi liver anjing pada kondisi normal (A) dan yang mengalami toksisitas paracetamol (B - G). Gambar A menunjukkan gambaran liver normal dengan hepatocyte berbentuk polyhedral dengan nucleus berbentuk bulat. Gambar B menunjukkan terjadinya perubahan vacuolar. Gambar C menunjukkan degenerasi hepatocyte. Gambar D menunjukkan pembengkakan hepatocyte disertai kongesti tractus portal (portal tract). Gambar E menunjukkan kongesti disertai disasosiasi parenchyma hepatic. Gambar F menunjukkan kongesti pembuluh darah portal dan hyperplasia ductus empedu (bile duct). Gambar G menunjukkan kongesti tractus portal (portal tract) (Salem et al., 2010).




Gambar 11. Perbandingan gambaran histologi lien anjing pada kondisi normal (A) dan yang mengalami toksisitas paracetamol (B - E). Gambar A menunjukkan gambaran lien normal dengan jumlah lumphocyte yang tinggi. Gambar B menunjukkan hyperplasia dengan peningkatan jumlah makrofag dan sel plasma. Gambar C menunjukkan penebalan septa splenic (splenic septae). Gambar D menunjukkan kongesti disertai vasculitis. Gambar E menunjukkan penebalan septa fibrosa (fibrous septae) (Salem et al., 2010).



Gambar 12. Perbandingan gambaran histologi ginjal anjing pada kondisi normal (A - C) dan yang mengalami toksisitas paracetamol (D - I). Gambar A menunjukkan gambaran ginjal normal dengan sel-sel epithelial renal berbentuk bulat dengan nucleus eccentric. Gambar B menunjukkan glomerulus normal. Gambar C menunjukkan sel-sel tubular renal normal. Gambar D menunjukkan vacuolasi (vacuolation) dan degenerasi epithelium tubular. Gambar E menunjukkan degenerasi tubular disertai debris amorphous berwarna biru gelap. Gambar F menunjukkan kongesti disertai vasculitis. Gambar G menunjukkan perinephritis berupa penebalan kapsula renal (renal capsule). Gambar H menunjukkan vacuolasi epithelium glomerulus, kongesti dan fibrosa pada perivascular. Gambar I menunjukkan degenerasi disertai vacuolasi pada beberapa epithelium tubular dan necrosis (Salem et al., 2010).




Gambar 13. Perbandingan gambaran histologi bone marrow anjing pada kondisi normal (A) dan yang mengalami toksisitas paracetamol (B - C). Gambar A menunjukkan gambaran cellularity normal. Gambar B menunjukkan tahapan sedang dari hypocellularity. Gambar C menunjukkan tahapan parah dari hypocellularity (Salem et al., 2010).




TREATMENT
Penanganan atau pengobatan pada hewan yang didiagosa mengalami toksisitas paracetamol harus dilakukan dengan sesegera mungkin. Decontaminasi toksin dari hewan sangat penting dilakukan secepat mungkin (muntah atau dengan pemberian active charcoal). Jika penanganan dapat dilakukan kurang dari 14 jam post ingesti obat, maka prognosis masih dapat bersifat fausta (Cote, 2014).

Prosedur penanganan toksisitas paracetamol:
  • tempatkan hewan pada ruangan dengan udara yang bersih dan ventilasi yang terbuka (Corrie, 2014)
  • berikan oksigen tambahan, koleksi darah dan urin untuk uji laboratorium (Corrie, 2014)
  • terapi isotonic crystalloid fluid (infus seperti 0.9% saline atau NaCl fisiologis, Ringers’s lactate) untuk memulihkan kondisi tekanan darah dan perfusi darah (blood pressure and perfution) pada kondisi dehydrasi atau hypovolemia: 40-60 mL/kg/hari (Cote, 2014) atau untuk menjaga agar tetap hydrasi serta meningkatkan output urine (Corrie, 2014)
  • decontaminasi toksin dari hewan dengan menginduksi emesis (namun jika hewan lemah tidak dibolehkan) atau pemberian terapi cairan (seperti saline), atau pemberian osmotic cathartic agents (untuk meningkatkan motilitas intestinal dan memicu pengeluaran feses) , atau dengan pemberian activated charcoal (adsorbent) 1-3 g/kg per oral (untuk anak kucing dan anak anjing 1-3 mg/kg) diulang tiap 3-4 jam sekali, namun bila dilakukan pemberian N-acetylcysteine maka tunda pemberian activated charcoal dengan jeda waktu pemberian diantara ke-2 obat tersebut sekitar 2-3 jam (Richardson, 2000; Cote, 2014; Corrie, 2014)
  • Pemberian antidote: N-acetylcysteine (NAC). N-acetylcystein merupakan sumber sulfhydryl yang mengikat NAPQI, berfungsi mengembalikan keadaan methemoglobinemia menjadi normal, serta NAC juga bersifat sebagai prescursor glutation sehingga melindungi hepatocytes dan eritrosit.  (Omer dan McKnight, 1980; Richardson, 2000; Cote, 2014). N-acetylcysteine biasanya tersedia dalam bentuk serbuk atau tablet sehingga harus dilarutkan menjadi konsentrasi 5-10% dengan saline atau Ringer’s lactate (secara infus) dilengkapi dengan 0.2 micron bacteriostatic filter untuk menjaga agar larutan yang masuk ke pembuluh darah dalam keadaan steril. Dosis awal pemberian pada anjing 280 mg/kg, pada kucing 140 mg/kg i.v dengan kecepatan infus yang lambat (constant rate infusion, CRI). Dosis lanjutan NAC yaitu 70 mg/kg p.o. q 6 jam untuk 5 kali pemberian atau 100 mg/kg q 24 jam. (Litte, 2001; Pothiappan et al., 2014; Cote, 2014). 
  • Alternative selain NAC yaitu sodium sulfate 50 mg/kg dengan konsentrasi larutan 1.6% secara i.v q 6 jam sebanyak 4 kali treatment atau hingga menunjukkan hasil positif (Corrie, 2014). Selain itu, ada referensi yang mengatakan pemberian methylene blue juga dapat digunakan untuk treatment methemoglobinemia dan meningkatkan hemoglobin eritrosi, dengan dosis 1-1.5 mg/kg q 4 jam sebanyak 2 kali (Litte, 2001; Rumbeiha dan Oehme, 1992). Namun ada referensi yang mengatakan pemberian methylene blue juga beresiko menginduksi pembentukan methemoglobin sehingga perlu dihindari (Steenbergen, 2003; Corrie, 2014).
  • Pemberian ascorbic acid, berfungsi sebagai antioksidant, melindungi liver dan eritrosit dengan cara menangkap atau menetralkan toksin (ascorbate, vitamin C) 20 – 30 mg/kg p.o, im, iv (infus) q 8 jam untuk 2-3 kali sehari (BID-QID) ((Richardson, 2000; Cote, 2014)
  • S-adenosylmethionine sebagai hepatoprotective, meningkatkan glutation sebagai antioxidant (Webb et al., 2003) dengan dosis  dosis 18 mg/kg p.o (Khan et al., 2014) atau pemberian sediaan 90 mg p.o untuk kucing atau anjing kecil q 24 jam, hingga dosis  225 mg p.o untk anijng ukuran besar q 24 jam hingga 2 minggu hingga enzim liver kembali normal (Cote, 2014)
  • Cimetidine, bersifat sebagai antagonist pada reseptor H2 dan menghambat enzim CYP 450 sehingga menurunkan metabolit NAPQI. Dosis penggunaan yaitu 5-10 mg/kg p.o, i.m, i.v q 6-8 jam (hanya untuk anjing) dan kontraindikasi pada kucing karena penggunaan pada kucing dapat menginduksi metabolit paracetamol (Cote, 2014; Khan et al., 2014)
  • Transfuse darah bila dibutuhkan (Litte, 2001)
  • Diet: pemenuhan kebutuhan protein dan kalori harus mencukupi, jangan bataskan diet protein kecuali terjadi hepatic encephalopathy. Untuk diet gunakan non-meat protein seperti keju (cottage cheese) dan telur (Cote, 2014)
  • Perhatikan interaksi obat, seperti penggunaan phenobarbital dapat meningkatkan enzim CYP450 sehingga meningkatkan NAPQI (Cote, 2014)
  • Monitoring: hematocrit, methemoglobin, level enzyme liver, total bilirubin (Omer dan McKnight, 1980; Cote, 2014)


DAFTAR PUSTAKA

Allen, A.L., 2003. The diagnosis of acetaminophen toxicosis in a cat. Can. Vet. J., 44: 509-510.

Aronson L.R. dan Drobatz.1996.,Acetaminophen toxicosis in 17 cats. J. Vet. Emerg. Crit. Care, 6:65–69

Aronoff, D.M., Oates, J.A., dan Boutaud, O., 2006. New insights into mechanism of action of acetaminophen: Its clinical pharmacologic characteristics reflect its inhibition of the two prostaglandin H2 synthases. Clin. Pharmacol.Ther., 79:9-19.

Botting, R.M., 2000. Mechanism of action acetaminophen: Is there a cyclooxygenase 3?. Clinical Infectious Disease, 31:8202-10.

Center, S.A., 2015. Hepatic disease in small animals.  http://www.merckvetmanual.com/mvm/digestive_system/hepatic_disease_in_small_animals/other_serum_biochemical_measures_in_hepatic_disease_in_small_animals.html

Cho, S., dan Atwood, J. E., 2002. Peripheral Edema. Am. J. Med., 113:580-586

Christ, B., dan Brückner, S., 2012. Rodent animal models for surrogate analysis of cell therapy in acute liver failure. Frontiers in Physiology, 3(78):1-9

Christopher, M.M., White, J.G., dan Eaton, J.W., 1990. Erytrocyte pathology and mechanisms of Heinz body-mediated hemolysis in cats. Vet Pathol., 27:299-310.

Court, M.H., 2013. Feline drug metabolism and disposition: pharmacokinetic evidence for species differences and molecular mechanism. Vet. Clin. North Am. Small Anim. Pract., 43(5) doi:10.1016/j.cvsm.2013.05.002.

Cote, B., 2014. Clinical Veterinary Advisor: Dogs and Cats, Elsevier Health Sciences.

Corrie, 2014. NSAID toxicity in cats and dogs. https://s3.amazonaws.com/EliteCME_WebSite_2013/f/pdf/VFL02NSI14.pdf

Cotter, S., 2001. Ch.18 oxidative injury to red cells. Hematology. Teton NewMedia. Page:36

Engelking, L.R., 2010. Erythrocytic Protection from O2 Toxicity, Chapter 30 dalam Textbook of Veterinary Physiological Chemistry, Updated 2/e, Academic Press pp. 167 – 170

eClinpath, 2013. Heinz body hemolytic anemia in a cat with acetaminophen toxicosis. http://www.eclinpath.com/hematology/morphologic-features/red-blood-cells/rbc-inclusions/heinz-body-hemolytic-anemia-in-cat-with-acetaminophen-toxicosis/

Fisher, D. J., 1997.  Disorders of Red Blood Cells. Handbook of Small Animal Practice, 3rd Edition. Saunders, Philadelphia; 656-673

Hébert, P., Methemoglobinemia.
https://www.medvet.umontreal.ca/servicediagnostic/materiel_pedagogique/hematologie/methemo/methemo_en.html

Jancova, P., Anzenbacher, P., dan Anzenbacherova, E., 2010. Phase II drug metabolizing enzymes. Biomed. Pap. Med. Fac. Univ. Palaky Olomouc Czech Repub., 154(2):103-116

Jerzsele, A., 2012. Comparative veterinary pharmacokinetics. http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/35674.pdf

Khan, S.A., 2014. Toxicities from human drugs, dalam Toxicology. http://www.merckvetmanual.com/mvm/toxicology/toxicities_from_human_drugs/analgesics_toxicity.html

Litte, S., 2011. The cat: clinical medicine and management. Elsevier Health Sciences.

Nash, S.L., Savides, M.C., Oehme, F.W., dan Johnson, D.E., 1984. The effect of acetaminophen on methemoglobin and blood glutathione parameters in the cats. Toxicology, 31(3-4):329-334.

Omer, St. W., dan McKnight, ED III., 1980. Acetylcysteine for treatment of acetaminophen toxicosis in the cat. J. AM. Vet. Med. Assoc., 176(9):911-3.


Osweiler, G., 1997.  Household Drugs. The Handbook of Small Animal Practice, 3rd Edition, Churchill, Livingstone, New York: 1279-1283; 1997.

Perry, H., 1998. Acetaminophen. Clinical Management of Poisoning and Overdoses. Clinical Management of Poisoning and Drug Overdose, 3rd ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia; 88-198

Pothiappan. P., Muthuramalingam, T., Sureshkumar, R., Selvakumar, G., Thangapandiyan, M., dan Rao, G.D., 2014. Paracetamol poisoning in ac cat and its treatment. Ind. J. Vet. Sci. Res., 43(5): 388-389.

Rebar, A., 2001. A guide to hematology in dogs and cats. Teton NewMedia.

Richardson, J.A., 2000. Management of acetaminophen and ibuprofen toxicoses in dogs and cats. Journal of Veterinary Emergency and Critical Care, 10(4):285-291.

Rossoff, I.S., 1994. Handbook of Veterinary Drugs and Chemicals, Pharmatox Publishing Company, Taylorville, Illinois, USA.

Rumbeiha, W.K., dan Oehme, F.W., 1992. Methylene blue can be used to treat methemoglobinemia in cats without inducing Heinz body hemolytic anemia. Veterinary and Human Toxicology, 34(2):120-122

Salem, S.I., Elgayed, S.S.A., El-Kelany, W.M., dan Abd El-Baky, A.A., 2010. Diagnostic Studies on Acetaminophen toxicosis in Dogs. Global Veterinaria, 5(2): 72-83.

Scallan, J., Huxley, V.H., Korthuis, R. J., 2010.  Capillary Fluid Exchange: Regulation, Functions, and Pathology. San Rafael (CA): Morgan & Claypool Life Sciences; Chapter 4, Pathophysiology of Edema Formation. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK53445/

Sharkey, L., 2015. In clinical hematology: the blood film review, 2015. 5(4). http://todaysveterinarypractice.navc.com/in-clinic-hematology-the-blood-film-review/

Steenbergen, V., 2003. Acetaminophen and cats – a dangerous combination, Veterinary Technician, 24(1).

Siroka, Z., dan Svobodova, Z., 2013. The toxicity and adverse effect of selected drugs in animals – overview. Polish Journal of Veterinary Sciences, 16(1):181-191

Webb. C.B., Twedt, D.C., Fettman, M.J., dan Mason, G., 2003. S-adenosylmethionine (SAMe) in a feline acetaminophen model of oxidative injury. J. Feline Med. Surg., 5(2): 69-75

Weis, S.M., 2008. Vascular permeability in cardiovascular disease and cancer. Curr. Opin. Hematol., 15(3):243-249.

Postingan populer dari blog ini

Metabolisme Zinc Pada Manusia Dan Hewan (Anjing & Kucing)

Ultrasonography (Usg) dan Aplikasinya Pada Pemeriksaan Organ Reproduksi Serta Diagnosa Kebuntingan & Foetal Sexing Pada Ternak

PROSEDUR HISTOLOGI: PEMBUATAN BLOK PARAFFIN DAN PEMOTONGAN