Patogenesis Rabies
Patogenesis Rabies
Infeksi rabies dapat terjadi akibat gigitan hewan seperti anjing, kucing, kelelawar dan lain-lain yang salivanya mengandung virus rabies. Setelah terinfeksi virus rabies, hewan akan meperlihatkan gejala klinisnya yang dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu prodromal, eksitasi, dan paralisis. Pada stadium prodromal, hewan mulai mencari tempat yang dingin, gelap, menyendiri, refleks kornea berkurang, pupil melebar, dan hewan terlihat acuh dengan tuannya. Pada stadium eksitasi, hewan mulai agresif, menyerang hewan lainnya atau manusia yang dijumpainya, dan hipersalivasi. Pada stadium paralisis, hewan mengalami kesulitan menelan, sempoyongan, lumpuh,dan akhirnya mati (Sidharta dan Serosa, 1995).
Melalui gigitan hewan yang terinfeksi rabies, virus memiliki akses untuk masuk dari saliva ke dalam muskulus ditempat gigitan. Virus akan mengalami replikasi di sel otot sampai dapat memenuhi konsentrasi yang cukup untuk mencapai ujung saraf motoris terdekat (Lewis et al., 2000). Protein G pada virus berikatan dengan reseptor nikotinik asetilkolin, neural cell adhesion molecule (NCAM) reseptor, dan p75 neurotrophin reseptor pada neuromuscular junction dan menginfeksi sistem nervus (Jackson, 2007). Menurut Etessami et al. (2000) glycoprotein virus rabies berperan penting dalam infeksi virus ke neuron.
Saat menginfeksi sistem nervus, pergerakan virus terjadi secara ascending dan descending. Infeksi neuronal secara ascending terjadi saat virus bergerak ke sistem saraf pusat yaitu menuju medula spinalis kemudian ke otak (Jackson, 2007). Penyebaran virus dari sistem saraf perifer ke sistem saraf pusat melalui transport akson yang cepat dengan kecepatan 12-100 mm per hari (Tsiang et al., 1991) melalui ikatan protein P virus rabies dengan transport neuron yang bersifat retrograde yaitu LC8 Dynein light chain (Raux et al., 2000).
Gambar 2. Gambaran transport axonal virus rabies secara retrograde melalui LC8 Dynein di dalam neuron. (A) secara normal transport LC8 Dynein melalui mikrotubulus berperan mengangkut mitokondria (Cai dan Sheng, 2009), (B) bentuk Dynein dan bagian LC8 (Hirokawa et al., 2010) dan (C) transport virus rabies secara retrograde dengan LC8 Dynein (Sodeik, 2000).
Saat virus mencapai sistem limbik di otak, virus mengalami replikasi secara ekstensif dan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa perilaku yang ganas. Virus menyebar dari sistem limbik secara descending dari sistem saraf pusat ke nervus perifer menuju beberapa organ seperti korteks adrenal, pankreas, dan pada sel mukosa glandula saliva. Saat virus telah menyebar dan berreplikasi di neokorteks menyebabkan terjadi perubahan perilaku menjadi depresi, koma, dan mati biasanya akibat gangguan respirasi. Dari neokorteks kemudian virus akan mengalami pergerakan secara descending ke glandula saliva dan bila hewan yang terkena rabies menggigit manusia atau hewan lain maka manusia atau hewan tersebut terinfeksi rabies (Murphy et al., 1999)
Gambar 3. Gambaran singkat patogenesis rabies. Anjing yang menderita rabies dapat menularkan ke manusia atau hewan lain melalui gigitan (Jackson, 2007).
Gejala klinis yang muncul pada penderita rabies diduga akibat adanya down-regulasi maupun up-regulasi dari ekpresi protein pada hospes akibat aktivitas virus rabies di neuron baik bersifat menguntungkan bagi virus maupun sebagai mekanisme pertahanan dari sel itu sendiri dalam menghadapi virus (Prosniak et al., 2000). Melalui gambaran patohistologi, infeksi rabies menyebabkan perivasculer cuff, terdapat inclution bodies, apoptosis maupun degenerasi neuronal (Jackson dan Rossiter, 1997; Theerasurakarn dan Ubol, 1998; Li et al., 2005).
Tabel 2. Gene CNS hospes yang terinduksi virus rabies (Prosniak et al., 2000).
BACK TO