Penyakit dan Treatment pada Beruang Madu (Sun Bear / Helarctor malayanus)
PENYAKIT DAN TREATMENT
1. Infeksi Fungi (Jamur)
Ringworm
Ringworm merupakan salah satu penyakit kulit yang sering terjadi pada beruang. Pada beruang madu, penyakit ini dapat disebabkan infeksi fungi (jamur) yaitu Microsporum canis. Lesi ringworm berbentuk bulat disertai keradangan pada area sekitar tepi, dimana hewan akan merasa gatal seperti pada area bahu dan kepala disertai terjadinya pengelupasan kerak pada kulit hewan. Hewan juga akan mengalami alopesi (Groves, 1969).
Gambar 7. Gambaran lesi Ringworm pada beruang.
Beruang yang mengalami ringworm dapat diobati menggunakan cara dicelup pada larutan sulfur (lime sulfur dip dengan menggunakan 97.8% lime sulfur concentrated sebanyak 0.0295 liter yang dicampur dengan 3.785 liter air). Selain itu beruang juga dapat diobati menggunakan fungistatic antibiotic seperti griseofulvin 500 mg/45 kg berat badan per hari (Groves, 1969). Dosis griseofulvin (microsize) pada beruang secara umum hampir sama dengan dosis yang diberikan pada anjing domestik (Ramsay, 2003) sekitar 40-50 mg/kg p.o q 24h selama 3-4 minggu (Medleau & WhiteWheiters, 1992; Tennant, 2002). Apabila terjadi distress pada gastrointestinal dosis obat dapat dibagi 2 dengan cara pemberian 2 kali sehari bersama makanan (Plumb, 2005). Absorbsi griseofulvin paling baik bila diberikan bersama makanan dengan kandungan lemak yang tinggi (high fat meal).
Gambar 8. Gambaran treatment ringworm pada beruang dengan mandi larutan sulfur.
2. Infeksi Bakteri (Staphylococcus dan Acinetobacter)
Infeksi bakteri seperti staphylococcus dan acinetobacter dapat menyebabkan terjadinya penyakit kulit pada beruang madu. Penyakit kulit ini dapat terjadi pada anak beruang terutama bila anak beruang sudah mulai keluar dari sarangnya. Beruang yang mengalami penyakit kulit akan menunjukkan bintik-bintik pada kulit dan rambut rontok (alopecia) pada kepala dan bahu (Pickard, 2000). Untuk mengetahui penyebab penyakit kulit (apakah disebabkan bakteri atau jamur atau penyebab lainnya) harus dilakukan pengujian laboratorium untuk memastikan penyebab sebenar. Hal ini bertujuan untuk menentukan treatment yang tepat dan efektif serta efesien. Treatment yang dapat diberikan bila beruang mengalami infeksi bakteri yaitu 50 mg clavulox (clavulanic acid) pada pada anak beruang (Pickard, 2000) atau sekitar 12.5-25 mg/kg p.o q 8-12h Clavulox (amoxicillin + clavulanate, 4:1) (Tennant, 2002). Obat dalam bentuk sediaan tablet dapat dihancurkan dan dicampur dengan madu dan blackcurrant pekat untuk menyamarkan rasa obat (Pickard, 2000). Beruang dapat ditreatment 5-7 hari namun dapat diperpanjang hingga 20 hari bila mengalami infeksi kulit yang kronik. Perlu dilakukannya pemantauan kondisi hewan. Kondisi hewan yang semakin membaik menunjukkan adanya kondisi kulit yang semakin pulih dan rambut yang tumbuh kembali.
3. Infestasi Parasit
Nematoda
Nematoda yang dapat menginfestasi beruang madu seperti Baylisascaris transfuga (roundworm) (Schaul, 2006) dan Ancylostoma malayanum (hookworm) (Baylis dan Daubney, 1922; Setasuban dan Vajrasthira, 1975).
Baylisascaris transfuga (ascaroid parasite) dikenal juga sebagai Toxascaris transfuga atau Ascaris transfuga (Wallach dan Boever, 1983; Fowler, 1986). Cacing Baylisascaris transfuga berada di saluran pencernaan (intestinal kecil) (Crum et al., 1978). Larva dapat bermigrasi ke system syaraf pusat menyebabkan terjadinya penyakit pada visceral, neural, dan ocular (Papini dan Carosa, 1994; Papini et al., 1994; Papini et al., 1996; Bowman, 1999; Sato et al, 2004). Infestasi cacing Baylisascaris transfuga berpotensi zoonosis terhadap manusia (Schaul, 2006). Gejala klinis yang terjadi akibat infestasi cacing ini yaitu diare, anorexia, penurunan berat badan, serta rambut yang kering, kusam, dan kasar. Infestasi dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan terjadinya enteritis, obstruksi, serta terjadi kematian pada beruang. Diagnosis berdasarkan gejala klinis serta ditemukannya ascarid pada feses (Crum et al., 1978; Wallach, 1978; Wallach dan Boever, 1983; Fowler, 1986; Greenwood, 1992).
Cacing Ancylostoma malayanum berada disaluran pencernaan (mucosa intestinal) kecil dan merupakan cacing penghisap darah (suck blood). Gejala klinis seperti ditemukan darah di feses, anorexia, terjadi penurunan berat badan, haemorrhagic diarea, dan anemia. Infestasi cacing juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan absorpsi di intestinal dan dapat menyebabkan kematian pada anak beruang (Worley et al., 1976; Wallach, 1978; Greenwood, 1992; Roken, 1993).
Treatment yang dapat menjadi pilihan yaitu
- Ivermectin: dosis 0.3 mg/kg secara subcutaneous (s.c) atau per oral (p.o) sekali dosis dan diulang kemudian dengan interval 8 minggu (Roken, 1993)
- Levamisol: dosis 10-11 mg/kg s.c atau p.o dan diulang bila perlu (Fowler, 1986; Roken, 1993) atau sekitar 7-12 mg/kg p.o q 24h untuk 3-7 hari (berdasarkan dosis penggunaan pada anjing domestik) (Tennant, 2002). Pemberian dosis berganda dapat bersifat toxic (Roken, 1993)
- Piperazine (anti-ascaridal anthelmintic): dosis 100 mg/kg p.o sekali dan dapat diulang dengan interval 4 minggu (Fowler, 1986)
- Pyrantel pamoate: dosis 100 mg/kg p.o (Moran dan Gomez, 1994)
- Pencegahan dapat dilakukan dengan prophylactic treatment dengan pemberian anthelmintic setiap 4-8 minggu berdasarkan infeksi ascarid (Roken, 1993)
Cestoda
Species cestoda yang menginfestasi beruang madu seperti Pentorchis arkteios (tapeworm) (Meggitt, 1927). Treatment pada cestoda dapat menggunakan cestocide seperti praziquantel dengan dosis 3.5-7.5 mg/kg i.m atau s.c (berdasarkan dosis penggunaan pada anjing domestik) (Tennant, 2002).
Ekstoparasit (Caplak)
Ektoparasit yang dapat menginfestasi beruang madu seperti caplak Haemaphysalis histricus, Haemaphysalis leachi, dan Haemaphysalis semermis (Stiles dan Baker, 1935; Hoogstraal et al., 1966). Treatment pada caplak dapat menggunakan ivermectin dengan dosis 0.3 mg/kg secara subcutaneous (s.c) atau per oral (p.o) q7-14 hari dapat diulang 2-4 kali (Tennant, 2002).
4. Neoplasia
Penyebab pasti terjadinya neoplasia ada beruang tidak diketahui namun banyak factor yang mempengaruhi seperti genetic, lingkungan, infeksi, inflamasi, trauma, nutrisi serta toksin. Neoplasis yang pernah dilaporkan pada beruang madu seperti mandibular squamous cell carcinoma, intestinal adenocarcinoma, papillary cystadenocarcinoma, pyloric leiomyoma, squamous cell carcinoma pada mata kiri, extrahepatic biliary carcinoma, biliary adenocarcinoma. Level yang tinggi dari dietary lemak serta level vitamin A dan selenium yang rendah dapat menjadi faktror predisposisi perkembangan neoplasi hepatic. Konsumsi cereal atau roti yang telah lama atau berjamur atau konsumsi alfatoxin mungkin memberi implikasi terhadap perkembangan cancer. Selain itu terjadinya trauma dalam jangka panjang seperti infeksi serta inflamasi yang berterusan pada biliary serta cholecystitis menjadi faktor predisposisi perkembangan hepatocellular carcinoma (Bourne et al., 2010).
Terdapat kasus yang menunjukkan seekor betina beruang madu dewasa dapat sembuh dari kasus mandibular squamuous cell carcinoma. Pada tahap awal dilakukan bilateral mandibulectomy rostal hingga lingual frenulum diikuti dengan injeksi intra dan periolesional cisplatin (obat chemotherapy). Beruang madu kemudian harus beradaptasi dengan kondisi mandibular yang lebih pendek. Kemudian perlu dilakukan pengujian histopathology untuk menunjukkan komplit atau tidak komplitnya operasi ekscisi (penghilangan atau pemotongan) tumor. Selanjutnya dilakukan terapi radiasi setiap minggu sekali (4 kali treatment) dengan dosis sebanyak 2 Gy (Gy atau gray, simbol unit untuk dosis radiasi ion) secara parallel pada area bertentangan (total 4 Gy setiap treatment) dengan satu kali penambahan treatment cisplatin. Dilaporkan setelah 2 tahun beruang madu tersebut tidak menunjukkan adanya keberadaan neoplasia (Mylniczenko et al., 2005).
5. Penyakit dental
Penyakit dental pada beruang madu lebih sering terjadi pada beruang di penangkaran, hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan diet natural dari beruang madu seperti saat hidup liar di hutan. Diet yang lunak serta kandungan gula yang tinggi pada diet yang diberikan di penangkaran (seperrti pada buah-buahan domestic serta enrichment yang bersifat manis) menjadi salah satu penyebab terbentuknya plaque (Fleming dan Burn, 2014). Kasus penyakit dental lainnya pada beruang seperti erosi enamel serta predisposing gigi menjadi fracture juga terlihat pada berung yang mengalami “Bar Biting” (merupakan manisfestasi umum dari tingkah laku abnormal beruang yang berada di penangkaran) (Maas, 2000; Vickery dan Mason, 2004).
Berikut adalah beberapa kasus patology dental pada beruang madu di pusat penyelamatan satwa
Tabel 8. Beberapa kasus patologi dental serta operasi dental yang pernah dilaporkan pada beruang madu di pusat penyelamatan satwa berdasarkan hasil studi Fleming dan Burn (2014)
Patologi dental
|
Operasi yang dilakukan
|
Fraktur dan eksposur pulpa (pulp) pada keempat gigi canine dengan beberapa osteolysis dari sekitartulang, Terdapat infeksi apical dan pembentukan sinus pada bilateral mandibular
|
Ekstraksi pada 4 gigi canine dan satu incisor mandibular
|
Erosi enamel dari satu gigi canine dengan ekposur pulpa (pulp) dan infeksi ringan (mild) pada apical
|
Ekstraksi satu canine mandibular, satu incisor dan satu premolar
|
Fraktur dan eksposur pulpa (pulp) keempat gigi canine dengan moderate osteolysis dari sekitar tulang alveolar dan terdapat infeksi apical
|
Ekstraksi pada keempat gigi canine
|
Fraktur dari tip gigi canine dengan pulpa (pulp) yang terdedah dan infeksi sedang pada apical
|
Ekstraksi pada satu canine maxillary dan dua premolar
|
Fraktur dari tip gigi canine dengan pulpa (pulp) yang terdedah
|
Ekstraksi satu canine maxillary
|
Fraktur dari tip gigi canine dengan pulpa (pulp) yang terdedah dan infeksi sedang pada apical
|
Ekstraksi satu canine maxillary
|
Fraktur dua gigi canine dengan pulpa (pulp) yang terdedah dan infeksi ringan pada apical
|
Ekstraksi satu canine maxillary dan satu canine mandibular
|
Calculus moderat pada gigi incisor mandibular dengan pembentukan sulcus dan kehilangan gigi
|
Ekstraksi incisor mandibular
|
Alat dan bahan yang perlu disiapkan dalam melakukan proses ekstraksi pada beruang seperti bahan anaesthetic (umum dan lokal), peralatan anaesthetic (administrasi seperti jarum dan syringes), peralatan anaesthetic (monitoring), analgesic, antibiotic, peralatan dental, material dan peralatan menjahit.
Sebelum melakukan prosedur operasi, beruang dapat dianatesi dengan kombinasi titelamine-zolazepam (dosis 1.7 mg/kg) dan medetomidine (0.04 mg/kg). Setelah teranastesi, hewan di intubasi dan kondisi hewan dijaga dengan anasthesia gas yaitu isoflurane. Beruang kemudian diinjeksi dengan anti inflamasi non-steroidal seperti meloxicam secara subcutaneous (dosis 0.2 mg/kg) dan obat penahan sakit seperti tramadol secara intravenous (dosis 1 mg/kg). Kondisi oral cavity diamanti dan dicatat. Berdasarkan kasus pada table 8, hampir kesemua beruang perlu dilakukan ektraksi pada gigi canine, untuk itu dilakukan teknik ekstraksi (open extraction standart ataupun non-standart) (Fleming dan Burn, 2014).
Berikut adalah contoh gambaran teknik ekstraksi pada gigi beruang yang dapat dijadikan referensi untuk ekstraksi gigi pada beruang madu
Gambar 9. Gambaran ekstraksi gigi canine beruang dengan menggunakan teknik open extraction (standart) (Bourne, 2014).
Gambar 10. Gambaran ekstraksi gigi canine beruang dengan menggunakan teknik open extraction (non standart) (Bourne, 2014).
Pasca operasi, beruang dapat diberi obat analgesia secara oral selama 3-5 hari (tergantung evaluasi klinikal), serta antibiotic yang bersama milkshake berperisa guna menyamarkan rasa obat. Selama perawatan pasca operasi perlu dilakukannya monitoring kesembuhan luka secara harian (Bourne, 2014). Pasca operasi dental (ekstrasi gigi), beruang madu padat diberi obat anti-inflaamsi meloxicam 0.1 mg/kg p.o sekali sehari selama 7 hari dan antibiotik clindamycin 5 mg/kg p.o dua kali sehari selama 10 hari (Fleming dan Burn, 2010).
BACK TO